page contents
 
Jasuma Jsm

FAKTA
Pla•gi•at [n] pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misal menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan; pla•gi•a•tor [n] orang yang mengambil karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat, karya) sendiri; penjiplak;

pla•gi•a•ris•me [n] penjiplakan yang melanggar hak cipta;

Plagiatis, plagiasi, dan plagiarian tidak terdaftar di KBBI.

OPINI
Plagiatis, mungkin beranalogi ke kata berakhiran /-tis, -is, if/ yang memaknai sifat (nasionalistis, nasionalis). Jadi, mungkin plagiatis dimaksudkan untuk menyatakan sifat atau fenomena/kondisi plagiat (silakan teman-teman tinjau sisi morfologinya).

Plagiasi, mungkin beranalogi ke yang akhir kata ada /-si/ yang memaknai proses (sosialisasi, nasionalisasi), Jadi, mungkin plagiasi dimaksudkan untuk menyatakan proses plagiat (silakan teman-teman tinjau sisi morfologinya).

Plagiarian, mungkin beranalogi ke kata yang akhir kata ada /-an/ (bukan akhiran -an) yang memaknai orang/pelaku (vegetarian, laboran). Jadi, mungkin plagitarian dimaksudkan untuk menyatakan orang yang menganut paham plagiat (silakan teman-teman tinjau sisi morfologinya).
 
Yadhi Rusmiadi Jashar

Menurut KBBI (2009: 1106), pengertian penyuntingan adalah proses, cara, perbuatan menyunting atau sunting-menyunting sedangkan definisi menyunting adalah 1. menyiapkan naskah siap cetak atau siap terbit dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa (menyangkut ejaan, diksi, dan struktur kalimat); 2. merencanakan dan mengarahkan penerbitan (surat kabar, majalah); 3. menyusun atau merakit (film, pita rekaman) dengan cara memotong-motong dan memasang kembali.

Orang yang pekerjaannya menyunting tulisan disebut editor atau penyunting. Untuk menjadi penyunting yang baik, seseorang harus memenuhi persyaratan, yaitu menguasai ejaan bahasa Indonesia, menguasai tata bahasa Indonesia, memiliki ketelitian dan kesabaran, memiliki kemampuan menulis, menguasai satu bidang keilmuan, memiliki pengetahuan yang luas, dan memiliki kepekaan bahasa.
Beberapa hal yang patut memdapat perhatian dalam penyuntingan adalah sebagai berikut.

1. Penyuntingan isi (content editing), sering disebut developmetal substantive, or structural editing; revising; rewriting
~ merevisi atau memindahkan seluruh paragraf atau kalimat;
~ menambahkan material terbaru untuk mengurangi perbedaan dan menghapus material asli yang tidak dianggap tidak bermanfaat;
~ mengorganisasi dan merestrukturisasi isi untuk meningkatkan aliran dan kejelasan bahasa

2. Penataan salinan (copy editing), sering disebut dengan line, mechanical, or stylistic editing;
~ memeriksa ejaan, tata bahasa, tanda baca;
~ memeriksa apakah isi sudah mengikuti ketepatan gaya bahasa atau bagian gaya internal;
~ membuktikan fakta dan mejamin ketepatan/konsistensi bentuk;
~ mengklarifikasi makna dan meningkatkan keterbacaan dengan mengubah pilihan kata dan struktur kalimat.

3. Koreksi cetakan percobaan (proofreading)
~ membaca sampai selesai kopi naskah untuk mengecek kesalahan;
~ memastikan semua perubahan telah tercantum di dalamnya dan tidak ada kesalahan yang tertinggal selama proses penyuntingan.

Masih banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan proses penyuntingan sebuah naskah yang belum terutarakan dalam tulisan singkat ini. Semoga di lain waktu dapat ditambahkan. Semoga pula ada teman-teman yang mau memberi keterangan tambahan berkaitan dengan tugas penyunting (editor) ini.
 
Uum G. Karyanto 
 Mempersingkat Waktu

Dalam beberapa kesempatan, kita mungkin pernah mendengarkan kalimat "Untuk mempersingkat waktu, kita mulai acara ini" diucapkan oleh pembawa acara. Ungkapan "mempersingkat waktu" secara nalar tidak bisa diterima karena tidak masuk akal. Waktu tidak bisa dipersingkat atau disingkat. Satu menit tidak bisa disingkat menjadi kurang dari enam puluh detik. Satu jam akan selalu tetap enam puluh menit. Satu hari sampai kapan pun akan tetap 24 jam. Satu bulan selalu antara 28, 29, 30, atau 31 hari. Satu tahun tetap dihitung 365,25 hari. Satu dekade (dasawarsa) selalu sepuluh tahun. Satu abad selalu terdiri atas seratus tahun. Satu milenium dihitung sebagai seribu tahun.

Agar menjadi masuk akal, kalimat di atas dapat diubah menjadi "Untuk menghemat waktu, kita mulai acara ini" atau "Untuk memanfaatkan waktu, kita mulai acara ini".

Jika merasa sering terjebak dengan kata-kata "waktu" ini karena faktor kebiasaan sering tersebut kata "mempersingkat" sebelum kata "waktu", ada baiknya dihindari saja penggunaan kata "waktu". Jadi, bisa menggunakan kalimat "marilah kita mulai acara ini." Dalam konteks kalimat yang lain, seperti "Kepada Bapak, waktu dan tempat kami persilakan." dapat diganti dengan kalimat "Kepada Bapak dipersilakan." Penggunaan kata yang hemat, bukan?

 ‎'Menghemat waktu' atau 'memanfaatkan waktu' dalam lingkungan tertentu, misalnya pertemuan ilmiah, penggunaannya sudah mulai memasyarakat. Insya Allah akan semakin memasyarakat di lingkungan lainnya. 'Mempersingkat acara' konteks maknanya berbeda. Artinya, acaranya yang disingkat, mungkin dengan menghilangkan atau menyederhanakan satu atau dua acara.



 
Uum G. Karyanto 
 Kata orang, 'markus' itu akronim istilah 'mafia kasus'. Kurang adat sekali ya huruf /r/ pada akronim itu. Sudah tahu kata 'mafia' tidak mengandung huruf /r/, eh masih "nyelonong" juga. Mafia 'kan bukan maria. Terus, ternyata bukan hanya huruf /r/, suku kata /kus/ pada akronim itu tidak kalah kurang adatnya. 'Kan pada kata 'kasus' tidak ada suku kata /kus/. Yang ada /sus/. Eh, masih 'maksa' juga. Kasus 'kan tidak sama dengan kakus. Aduh, ampun, ampun! Nah, karena keduanya memaksa menjadi 'markus', kepanjangannya bukan 'mafia kasus' dong, melainkan ... (maaf, beribu maaf) 'maria kakus'. Coba bayangkan, akan ada berjuta orang bernama Maria akan menjadi marah akibat kasus ini.

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Melengkapi penjelasan Mas Uum G. Karyanto, berikut ini kaidah penulisan akronim berdasarkan PUEYD. Akronim ialah singkatan dari dua kata atau lebih yang diperlakukan sebagai sebuah kata.
a. Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal unsur-unsur nama diri ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
Misalnya:

LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LAN Lembaga Administrasi Negara
PASI Persatuan Atletik Seluruh Indonesia
SIM surat izin mengemudi

b. Akronim nama diri yang berupa singkatan dari beberapa unsur ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya:

Bulog Badan Urusan Logistik
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Iwapi Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia
Kowani Kongres Wanita Indonesia

c. Akronim bukan nama diri yang berupa singkatan dari dua kata atau lebih ditulis dengan huruf kecil.
Misalnya:

pemilu pemilihan umum
iptek ilmu pengetahuan dan teknologi

rapim rapat pimpinan
rudal peluru kendali
tilang bukti pelanggaran
radar radio detecting and ranging

Catatan:

Jika pembentukan akronim dianggap perlu, hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut.

(1) Jumlah suku kata akronim tidak melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia (tidak lebih dari tiga suku kata).
(2) Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata bahasa Indonesia yang lazim agar mudah diucapkan dan diingat.


 Akronim harus dibedakan dengan singkatan. Akronim ialah singkatan dari dua kata atau lebih yang diperlakukan sebagai sebuah kata. Contoh: rapim, Iwapi, dan Kowani. Singkatan ialah bentuk singkat yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Contoh: Dr., Bpk., Sdr., dan M.Sc.

 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Kata ganti ku- dan kau- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; 
-ku, -mu, dan -nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Sudah kukatakan, kaubacalah dulu dengan cermat pesanku itu agar dirimu tak selalu menyalahkannya. Lalu, berhentilah menuduhnya sebagai orang yang menghilangkan KTP-mu dan SIM-ku.
Semua kata ganti dalam deretan kata; kukatakan, kaubacalah, pesanku, dirimu, dan menyalahkannya, harus ditulis serangkai.

Kata-kata ganti itu (-ku, -mu, dan -nya) dirangkaikan dengan tanda hubung apabila digabung dengan bentuk yang berupa singkatan atau kata yang diawali dengan huruf kapital.
Misalnya:
KTP-mu
SIM-ku
STNK-nya
 
Yadhi Rusmiadi Jashar
(Berdasarkan Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan)

1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Surat biasa, surat kilat, ataupun surat kilat khusus memerlukan prangko.
Satu, dua, ... tiga!

2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului dengan kata seperti tetapi, melainkan, sedangkan, dan kecuali.
Misalnya:
Saya akan membeli buku-buku puisi, tetapi kau yang memilihnya.
Ini bukan buku saya, melainkan buku ayah saya.
Dia senang membaca cerita pendek, sedangkan adiknya suka membaca puisi
Semua mahasiswa harus hadir, kecuali yang tinggal di luar kota.

3. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.
Misalnya:
Kalau ada undangan, saya akan datang.
Karena tidak congkak, dia mempunyai banyak teman.
Agar memiliki wawasan yang luas, kita harus banyak membaca buku.
Catatan:
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika
anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya:
Saya akan datang kalau ada undangan.
Dia mempunyai banyak teman karena tidak congkak.
Kita harus membaca banyak buku agar memiliki wawasan yang luas.

4. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan dengan itu, dan meskipun begitu.
Misalnya:
Anak itu rajin dan pandai. Oleh karena itu, dia memperoleh beasiswa belajar di luar
negeri.
Anak itu memang rajin membaca sejak kecil. Jadi, wajar kalau dia menjadi bintang
pelajar. Meskipun begitu, dia tidak pernah berlaku sombong kepada siapapun.
Catatan:
Ungkapan penghubung antarkalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian,
sehubungan dengan itu, dan meskipun begitu, tidak dipakai pada awal paragraf.

5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seru, seperti o, ya, wah, aduh,dan kasihan, atau kata-kata yang digunakan sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau Mas dari kata lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bukan main!
Hati-hati, ya, jalannya licin.
Mas, kapan pulang?
Mengapa kamu diam, Dik?
Kue ini enak, Bu.

6. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat. (Lihat juga pemakaian tanda petik, Bab III, Huruf J dan K.)
Misalnya:
Kata Ibu, "Saya gembira sekali."
"Saya gembira sekali," kata Ibu, "karena lulus ujian."

7. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Misalnya:
"Di mana Saudara tinggal?" tanya Pak Guru.
"Masuk ke kelas sekarang!" perintahnya.

8. Tanda koma dipakai di antara (a) nama dan alamat, (b) bagian-bagian alamat, (c) tempat dan tanggal, serta (d) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
Sdr. Abdullah, Jalan Pisang Batu 1, Bogor
Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta
Surabaya, 10 Mei 1960
Tokyo, Jepang.

9. Tanda koma dipakai untuk memisahkan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Gunawan, Ilham. 1984. Kamus Politik Internasional. Jakarta: Restu Agung.
Halim, Amran (Ed.) 1976. Politik Bahasa Nasional. Jilid 1. Jakarta: Pusat Bahasa.
Junus, H. Mahmud. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Alquran.
Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

10. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki atau catatan akhir.
Misalnya:
Alisjahbana, S. Takdir, Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid 2 (Jakarta: Pustaka
Rakyat, 1950), hlm. 25.
Hilman, Hadikusuma, Ensiklopedi Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia
(Bandung: Alumni, 1977), hlm. 12.
Poerwadarminta, W.J.S. Bahasa Indonesia untuk Karang-mengarang (Jogjakarta: UP
Indonesia, 1967), hlm. 4.

11. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
B. Ratulangi, S.E.
Ny. Khadijah, M.A.
Bambang Irawan, S.H.
Siti Aminah, S.E., M.M.
Catatan:
Bandingkan Siti Khadijah, M.A. dengan Siti Khadijah M.A. (Siti Khadijah Mas Agung).

12. Tanda koma dipakai di muka angka desimal atau di antara rupiah dan sen yang
dinyatakan dengan angka.
Misalnya:
12,5 m
27,3 kg
Rp500,50
Rp750,00
Catatan:
Bandingkan dengan penggunaan tanda titik yang dimulai dengan angka desimal
atau di antara dolar dan sen.

13. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak
membatasi. (Lihat juga pemakaian tanda pisah, Bab III, Huruf F.)
Misalnya:
Guru saya, Pak Ahmad, pandai sekali.
Di daerah kami, misalnya, masih banyak orang laki-laki yang makan sirih.
Semua siswa, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti latihan paduan suara.
Catatan:
Bandingkan dengan keterangan pewatas yang pemakaiannya tidak diapit dengan
tanda koma.
Misalnya:
Semua siswa yang lulus ujian akan mendapat ijazah.

14. Tanda koma dapat dipakai─untuk menghindari salah baca/salah pengertian─di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Dalam pengembangan bahasa, kita dapat memanfaatkan bahasa-bahasa di
kawasan nusantara ini.
Atas perhatian Saudara, kami ucapan terima kasih.
Bandingkan dengan:
Kita dapat memanfaatkan bahasa-bahasa di kawasan nusantara ini dalam
pengembangan kosakata.
Kami ucapkan terima kasih atas perhatian Saudara.
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

1. Kata berfonem awal /p/, /t/, /k/, dan /s/ luluh jika mendapat walan meN- atau peN-.
Misalnya: 
menargetkan (bukan mentargetkan) menaati (bukan mentaati) 
memraktikkan (bukan mempraktikkan)
menyiasati (bukan mensiasati)
menyabot (bukan mensabot)
memarkir (bukan memparkir)
mengaitkan (bukan mengkaitkan)
menerjemahkan (bukan meterjemahkan)
menyitir (bukan mensitir)
memelopori (bukan mempelopori)
memuplikasikan (bukan mempublikasikan)
mengalkulasikan (bukan mengkalkulasikan)
meneror (bukan menteror)
menyejajarkan (bukan mensejajarkan)
menyinkronkan (bukan mensinkronkan)
mengambinghitamkan (bukan mengkambinghitamkan)
menyortir (bukan mensortir)
menyuplai (bukan mensuplai)
memopulerkan (bukan mempopulerkan)
memesona (bukan mempesona)
penyosialisasian (bukan pensosialisasian)

2. Kata berfonem awal /p/, /t/, /k/, dan /s/ berupa gugus konsonan (cluster) tidak luluh jika mendapat awalan meN- atau peN-.
Misalnya:
mensponsori (bukan menyeponsori)
mengklasifikasikan (bukan mengelasifikasikan)
mentranskripsikan (bukan menerankripsikan)
penspesialisasian (bukan penyepesialisasian)
memprihatinkan (bukan memrihatinkan)
penstibtusian (bukan penyubstitusian)
mensterilkan (bukan menyeterilkan)
menstarter (bukan menyetarter)
mentransfer (bukan meneransfer)
menstandarkan (bukan menyetandarkan)

3. Kata berfonem awal /p/, /t/, /k/, dan /s/ tidak luluh jika kata tersebut masih terasa keasingannya.
Misalnya:
mengkooptasi (bukan mengooptasi)
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Kata depan [dari] ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kata seperti [daripada].

Kata depan [dari] digunakan dengan aturan sebagai berikut. 1. Untuk menyatakan “asal tempat” digunakan di muka kata benda yang menyatakan tempat.
Misalnya:
Mereka baru datang dari desa.
Ayah belum pulang dari kantor.
Ibunya berasal dari Baturaja.
2. Untuk menyatakan “asal bahan” digunakan di muka kata benda yang menyatakan bahan.
Misalnya:
Kue ini terbuat dari terigu.
Lantainya dari batu pualam
3. Untuk menyatakan “asal waktu” atau “sejak” digunakan di muka kata benda yang menyatakan waktu.
Misalnya:
Saya menunggu dari tadi pagi.
Dari dulu daerah ini sudah ramai.
4. Untuk menyatakan “asal hal atau keadaan” digunakan di muka kata yang menyatakan hal atau keadaan.
Misalnya:
Akhirnya kami terlepas dari segala kesulitan itu.
Dia baru saja sadar dari pingsannya.
5. Untuk menyatakan “asal pelaku” digunakan di muka kata benda yang menyatakan orang atau pelaku.
Misalnya:
Sepatu itu adalah hadian dari nenek.
Bantuan itu datang dari pemerintah.
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Berdasarkan Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, kaidah penulisan tanda titik (.) pada singkatan dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti tanda titik di belakang tiap-tiap singkatan itu.
Misalnya: A.H. Nasution
H. Hamid
W.R. Supratman
M.Hum
M.Si.
Bpk.
Sdr.
Kol.

2. Singkatan kata yang berupa gabungan huruf diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
jml.
kpd.
tgl.
hlm.
No.

3. Singkatan gabungan kata yang terdiri atas tiga huruf diakhiri dengan tanda titik.
Misalnya:
dll.
dsb.
dst.
sda.
ybs.
yth.

4. Singkatan gabungan kata yang terdiri atas dua huruf (lzim digunakan dalam surat-menyurat) masing-masing diikuti oleh tanda titik.
Misalnya:
a.n.
d.a.
u.b.
u.p.

5. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
cm
kg
Rp
TNT
Cu

6. Singkatan nama resmi lembaga pemrintahan dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, erta nama dokumen resmi yang terdiri atas gabungan huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
DPR
PBB
WHO
PT
KTP
 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar


Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Contoh: Nenek saya, baru datang, di pasar, dan sedang membaca.

Kata majemuk atau kompositum adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantis yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan (KBBI). Kata majemuk juga memiliki pengertian gabungan dua kata atau lebih yang memiliki struktur tetap, tidak dapat disisipi kata lain atau dipisahkan strukturnya karena akan memengaruhi arti secara keseluruhan. Contoh: rumah makan, rumah sakit, kereta api, dan air mata.

Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Idiom merupakan perpaduan dua kata atau lebih yang maknanya tidak dapat secara langsung ditelusuri dari makna masing-masing kata yang tergabung. Contoh idiom adalah membanting tulang, panjang tangan, dan tebal telinga.

Perbedaan frasa, kata majemuk, dan idiom; frasa tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal. Contoh, kaki Nasir yang maknanya secara sintaktik atau gramatikal sesuai dengan kata 'kaki' dan 'Nasir'. Kata majemuk sebagai komposisi memiliki makna baru atau memiliki satu makna tetapi maknanya masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki meja yang masih dapat ditelusuri dari makna 'kaki' dan 'meja'. Idiom memunculkan makna baru yang tidak dapat secara langsung ditelusuri dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki tangan yang tidak ada sangkut pautnya dengan 'kaki' dan 'tangan'.